Mahasiswa DPBD UPI Bersama Siswa SDN Cireundeu

Rabu, (3/1/18). Mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah UPI mengunjungi sebuah kampung adat yang terletak di Cimahi, Jawa Barat. Kampung Cireundeu adalah nama kampung tersebut. Tujuan kunjungannya yaitu untuk meneliti kehidupan masyarakat adat disana. Sudah banyak yang mengunjungi kampung tersebut, seperti mahasiswa ITB, mahasiswa Unpad, dan masih banyak lagi dengan tujuan penelitian yang berbeda-beda.

Menurut Kang Jajat, Ketua RT Kampung Cireundeu, menyebutkan bahwa sebenarnya Kampung Cireundeu bukan kampung adat, melainkan perkampungan biasa yang didalamnya terdapat masyarakat adat. Berdasarkan dongeng yang berkembang turun temurun, Kampung Cireundeu sudah ada sekitar tahun 1600-an. Bahkan sebelum Cimahi berdiri, Kampung Cireundeu sudah ada lebih awal karena saat pembangunan-pembangunan seperti jalan, rumah-rumah koloni, dan sebagainya di Cimahi yang terjadi pada masa kolonial Belanda ternyata sudah ada beberapa masyarakat adat Kampung Cireundeu yang turut membantu proses pembangunan di Cimahi tersebut.


Sejarah Kampung Cireundeu

Cireundeu berasal dari nama tanaman yaitu reundeu, karena dulunya di Kampung Cireundeu banyak sekali tanaman reundeu yang tumbuh di pekarangan rumah. Tanaman reundeu yaitu tanaman yang sering dimanfaatkan untuk membuat jamu atau obat herbal, biasanya sering dijadikan lalap oleh masyarakat zaman dulu. Karena itu kampung ini di sebut Kampung Cireundeu. Kampung Adat Cireundeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Cimahi. Terdiri dari 50 kepala keluarga dan 800 jiwa, sebagian besar bermata pencaharian bertani ketela. Kampung Adat Cireundeu memiliki luas 64 hektar terdiri dari 60 hektar untuk pertanian dan 4 hektar untuk pemukiman. Sebagian besar penduduknya memeluk dan memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan hingga saat ini. Selalu konsisten dalam menjalankan ajaran kepercayaan serta terus melestarikan budaya dan adat istiadat yang telah turun-temurun dari nenek moyang mereka. Maka pemerintah menetapkan Kampung Adat Cireundeu sebagai kampung adat yang sejajar dengan Kampung Naga (Tasikmalaya), Kasepuhan Cipta Gelar (Banten, Kidul, Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Urug (Bogor), Kampung Mahmud (Bandung), dan kampung adat lainnya.

Sistem Pendidikan di Kampung Adat Cireundeu

Suatu kampung / desa, memiliki sistem pendidikan formal yang berpusat dan mengacu pada hukum serta aturan negara. Sama halnya dengan Kampung Cireundeu, sistem pendidikan formal disini mengikuti aturan negara atau pemerintahan provinsi. Di Cireundeu sendiri terdapat satu sekolah formal yaitu Sekolah Dasar.Namun disamping pendidikan formal yang ada, terdapat pendidikan informal yang rutin dilaksanakan di kampung ini. Pendidikan informal tersebut berupa pengajaran, pendidikan, serta pengarahan masyarakat, khususnya anak-anak yang ada di Kampung Cireundeu mengenai pelestarian budaya leluhur dan adat istiadat yang dilaksanakan secara turun temurun. Pendidikan yang dilakukan seperti belajar bahasa Sunda yang baik dan benar, belajar menulis aksara Sunda, belajar memainkan kesenian Sunda, dan sebagainya. Ketua adat di kampung ini selalu mengarahkan masyarakatnya untuk menjunjung tinggi budaya tanpa menjauhi perkembangan zaman. Sudah tidak asing lagi jika kita bertanya apa yang menjadi landasan berpikir masyarakat di kampung ini, pasti jawabannya adalah ngindung ka waktu, ngabapa ka jaman, dan maknanya adalah hidup dengan memegang teguh budaya, adat istiadat, dan kepercayaan tanpa menjauhi, mengabaikan, dan meninggalkan perubahan serta perkembangan zaman yang berjalan setiap waktu. Masyarakat adat Kampung Cireundeu sangat kuat dalam kehidupan budayanya, namun mereka hidup modern. Rumah-rumah mereka pun biasa, sama seperti rumah pada umumnya. Tidak jadul, kuno, bahkan rumah adat Sunda sendiri hanya ada satu, yaitu yang baru-baru ini dibangun di sekitar balai desa. Pendidikan di kampung ini sama seperti di kampung-kampung lainnya.

Bidang Pangan

Masyarakat adat Kampung Cireundeu memiliki kebiasaan yang unik. Sehari-hari, mereka mengolah singkong untuk dijadikan makanan pokok. Bukan nasi atau gandum, melainkan olahan singkong lah yang biasa dijadikan makanan pokok mereka. Kebanyakan masyarakat adat Kampung Cireundeu, seumur hidupnya belum pernah mencicipi yang namanya nasi, karena nasi dianggap pamali oleh mereka. Menurut pendapat logis yang diberikan oleh ketua RT Kampung Cireundeu, sebenarnya pantangan tersebut memiliki arti yang nyata seperti yang pernah dikatakan oleh para sepuh atau tetua yaitu berhenti memakan nasi karena produksi beras di dunia sudah semakin kritis, kemudian masyarakat Kampung Cireundeu dulu berpindah profesi dari bertani padi menjadi petani singkong, sehingga makanan pokoknya pun berubah menjadi singkong. Hingga saat ini masih ada masyarakat Cireundeu yang bertani padi, namun tetap singkong lah yang menjadi makanan utama mereka. Produksi singkong yang telah diolah oleh masyarakat Kampung Cireundeu tidak sedikit, melainkan beragam sekali. Biasanya beragam olahan singkong dapat kita temui dan bisa kita bawa pulang jika kita mengunjungi sebuah rumah oleh-oleh, yang letaknya di samping balai desa Kampung Cireundeu. Disana terdapat banyak sekali produk olahan singkong asli buatan tangan masyarakat adat tersebut, dan rasanya sungguh nikmat.

Selain penelitian, para mahasiswa DPBD UPI juga membuat film pendek dengan tema hubungan budaya dan pendidikan yang berlokasi syuting di Kampung Cireundeu.

Tidak ada komentar: